Bisnis.com, JAKARTA – Pada masa kecilnya, Ranomi Kromowidjojo lebih mahir berenang daripada menghitung 1 sampai 10.
Neneknyalah yang pertama kali mengenalkan kolam renang kepada perempuan berdarah campuran Belanda dan Jawa kelahiran 20 Agustus 1990 itu ketika berlibur di Spanyol.
Pikir bocah berusia 3 tahun waktu itu, jika sudah memakai baju renang, dia pasti bisa berenang. Ranomi kecil berdiri di pinggir kolam lalu melompat ke air yang membuat orang tuanya ketakutan karena hampir tenggelam dan Ranomi sempat dilarang oleh ibunya untuk berenang.
"Namun, itu momen ketika orang tuaku berpikir aku harus ikut les renang. Anaknya butuh belajar berenang karena suka dengan air," tutur Ranomi ketika hadir sebagai pembicara di Konferensi Pemuda Diaspora 2018 di Jakarta pada Selasa (14/8/2018).
Pada usia 4 tahun, Ranomi ikut les renang untuk pertama kalinya. "Waktu itu aku tidak tahu perbedaan mana kiri dan mana kanan, tapi aku bisa berenang, dan aku sangat menikmatinya," kisah Ranomi.
Kini di usianya yang akan menginjak 28 tahun beberapa hari lagi, nama Ranomi Kromowidjojo telah dikenal dunia sebagai juara dunia renang, dan peraih tiga kali medali emas Olimpiade.
Baca Juga
Di hadapan para peserta konferensi, Ranomi membagi kisahnya dan rahasia bagaimana dia bisa meraih mimpinya sebagai salah satu perenang terbaik sepanjang masa.
Pada usia 8 tahun, Ranomi bergabung dengan klub renang yang lebih besar dan mengikuti kompetisi renang untuk pertama kalinya. "Aku bertanding melawan anak-anak lainnya dan aku senang menjadi yang lebih cepat."
Dia berlatih lebih giat, tapi tak pernah berkeinginan untuk menjadi atlet profesional atau juara Olimpiade karena keinginan itu memerlukan banyak latihan dan tak bisa bersenang-senang. "Aku hanya ingin bersenang-senang waktu itu. Jadi aku teruskan berlatih dan memenangi kompetisi."
Pada usia 15 – 16 tahun, Ranomi sadar dia memiliki talenta lebih daripada rata-rata anak seusianya setelah dia meraih medali di kejuaraan renang junior Eropa.
Ranomi melakukan debut internasional pertamanya di Kejuaraan Eropa di Budapest, Hongaria, pada 2006. Saat itu dia dan timnya menjadi yang terbaik kedua dan meraih medali senior internasional di nomor 4 x 100 m relay gaya bebas.
Dari sanalah, Ranomi muda berpikir serius tentang renang. "Apa yang terjadi jika aku fokus di renang? Seberapa jauh aku bisa raih? Mampukah aku menjadi juara eropa di ajang individu, atau mampukah aku menjadi juara dunia? Kemudian aku bermimpi lebih besar lagi," kata Ranomi.
Sepulang dari Kejuaraan Eropa 2006 itu, Ranomi bersama pelatihnya membidik Olimpiade Beijing 2008, walaupun tak sedikit pihak yang meragukan ambisi mereka.
Ranomi berada di atas angin setelah meraih medali perak di kejuaraan dunia Melbourne 2007 di nomor 4 x 100m relay gaya bebas dan medali emas dengan memecahkan rekor dunia di nomor yang sama pada Kejuaraan Eropa 2008.
Di Olimpiade Beijing 2008, beberapa hari sebelum ulang tahunnya yang ke-18, Ranomi menjadi juara Olimpiade dengan medali emas di nomor 4 x 100m gaya bebas, sekali lagi bersama timnya, Inge Dekker, Femke Heemskerk, dan Marleen Veldhuis.
Dia dan timnya kembali membuat kejutan Ranomi ketika menjadi juara di kejuaraan dunia 2009 di Roma, Italia.
"Jadi, waktu itu kami adalah juara Eropa, juara Olimpiade, dan juara dunia, dan orang-orang memanggil kami the Golden Girls," kata Ranomi.
Namun, atlet juga manusia. Selama 9 hari, Ranomi pernah masuk rumah sakit karena didiagnosa terkena virus meningitis sehingga dia tak bisa berjuang bersama timnya di Kejuaraan Eropa 2010.
Namun, pada tahun yang sama, Ranomi melakukan come back setelah sakit dengan memenangi emas pertama di nomor individu 50 meter dan 100 meter gaya bebas di kejuaraan dunia di Dubai. "Aku kembali di jalur menuju Olimpiade, dan itu memberiku kepercayaan diri yang tinggi," kata Ranomi.
Sampai di Olimpiade London 2012, Ranomi dan tim sebagai juara bertahan memasang target tiga medali emas di nomor 4 x 100 m, 100 m, dan 50 m.
Namun, di nomor 4 x 100 m, Ranomi dan tak mampu mempertahankan gelar juaranya dan harus puas dengan medali perak. Rasa kecewa pun tak terelakkan.
"Lalu aku berpikir, ini bukan pola pikir yang bagus. Berpikir positif. Fokus ke apa yang akan datang, ini bukanlah akhir. Perak juga bagus. Kami masih punya perlombaan besok. Kami harus fokus," kata Ranomi.
Berbekal fokus dan pikiran positif, Ranomi akhirnya berhasil merebut emas di nomor 100 m hari itu dan 50 m gaya bebas di hari berikutnya di London.
"Aku sangat senang karena impianku menjadi kenyataan dan aku kira waktu itu aku adalah gadis paling bahagia di dunia," kata Ranomi.
Salah satu pesan yang paling diingat Ranomi dari salah satu mentornya adalah "kita tak bisa mengendalikan apa yang terjadi di kehidupan, tapi kita bisa mengendalikan diri kita untuk merespons hal tersebut".
"Semuanya adalah tentang bagaimana mengalahkan krisis, luka, ataupun kekalahan. Sejak saat itu, saya hanya mulai fokus di hal-hal yang baik dan berpikir positif," kata Ranomi.
Walaupun tak mampu mengulangi prestasi di Olimpiade Rio de Jainero 2016, Ranomi tak patah arang. "Aku terus bertarung karena aku yakin aku mampu melakukan lebih dari apa yang aku raih di Rio," ucapnya.
Setelah Olimpiade Rio, sejumlah medali pun dia sabet di Kejuaraan Dunia 2017 dan memecahkan rekor dunia 4 x 50 relay gaya bebas.
Semuanya berawal dari mimpi. Apa impianmu? Apa yang kamu kagumi, yang membuat kamu senang. Lalu bermimpilah lebih besar.
"Ketika kamu tahu mimpimu dan tujuan dari takdirmu, buatlah tim karena kamu tak akan mampu meraihnya sendiri. Carilah orang-orang yang membantumu, yang percaya kepadamu, yang mendukungmu. Kemudian buatlah rencana. Jika tidak, tak akan terjadi apa-apa," kata Ranomi.
Jika sudah, mulailah membangun dan berlatih setiap hari. "Bukan masalah harus berenang lebih cepat setiap harinya, tapi bagaimana menjadi orang yang lebih baik setiap harinya."
Ibarat langkah bayi, jika kita berbuat baik kepada satu orang setiap harinya, pada akhirnya kamu akan 1.000 langkah lebih baik daripada dirimu yang dulu. "Aku pikir itulah rahasiaku," ujar Ranomi.