Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kalah, tak perlu marah

Penonton Indonesia makin dewasa. Begitu tim kesayangan mereka, Garuda Muda mengakui kegarangan Harimau Malaysia, lewat adu penalti yang dramatis, mereka tak rusuh.

Penonton Indonesia makin dewasa. Begitu tim kesayangan mereka, Garuda Muda mengakui kegarangan Harimau Malaysia, lewat adu penalti yang dramatis, mereka tak rusuh.

Dari dalam stadiun GBK, tadi malam saya teringat peristiwa tahun 1973. Ketika itu final Soeharto Cup antara Persija melawan Persebaya, pemain belakang Slamet Pramono memukul wasit dan dia dikenakan kartu merah, diusur dari lapangan. Serta merta pemain Persebaya ngambek tak mau melanjutkan pertandingan yang baru beberapa menit. Wasit memutuskan Persija menang WO 5-0. Penonton kecewa, kursi stadion yang terbuat dari kayu pun dibakar. Api membubung tinggi.
 
Ayah saya begitu khawatir. Dia menarik tangan kurus saya, bocah berusia 9 tahun, untuk segera meninggalkan stadion. Gawat, bisa terjadi kerusuhan.
 
Di final sepakbola dalam rangkaian pesta olahraga Sea Games XXVI di Gelora Bung Karno, Senin, 21 November 2011, tadi malam, jika penonton tidak siap menerima kekalahan, peristiwa 40 tahun silam itu bisa terulang. Bahkan lebih dahsyat.
 
Untunglah, penonton memang kecewa tapi tak brutal. Saya hanya menyaksikan seorang pria baya menendang kursi, mempertontonkan kekesalannya karena dalam drama adu penalti, Gunawan Dwi Cahyo gagal menjebol gawang Fahmi.
 
Ya, akhirnya Indonesia harus harus puas dengan medali perak. Padahal, tak lengkap rasanya meraih juara umum tanpa emas di cabang sepak bola. Olah raga yang paling digandrungi anak negeri.
 
Saya termasuk orang yang optimistis, sehingga seorang pebisnis properti yang assetnya puluhan triliun rupiah mengatakan "beruntung sekali PSSI punya pendukung fanatik seperti Anda." Sejak awal dia mendukung Malaysia.
 
Ketika Gunawan Dwi Cahyo menjebol gawang Malaysia pada menit ke-6  melalui sundulannya yang ciamik, hasil sepak pojok yang dilakukan Oktovianus Maniani, saya pikir goal-goal indah akan bertambah. Ternyata tidak. Malaysia berhasil menyamakan kedudukan 1-1 pada menit ke-35 lewat tandukkan Asrarudin.
 
Meski kalah 5-4, penonton hanya tertunduk lesu. Mereka bahkan tak memaki. Peristiwa yang mengenaskan dalam pesta olah raga ini 'hanya' sebuah loket penjualan tiket di samping restoran Lagunas, kompleks Gelora Bung Karno, dibakar puluhan orang sehari sebelumnya.
 
Aksi ini membuat penjualan di loket itu dihentikan sementara. Boleh jadi para calon penonton marah besar karena mereka memang sudah ngantre dari pagi, tapi enggak dapat tiket, mungkin karena kesal dan capek, jadinya mereka emosional membakar loket itu.
 
Seusai pertandingan, saya berjalan kaki menuju Jl. Gatot Subroto. Para penonton beriringan dengan tertib. Seorang remaja tanggung berkata bahwa dia tidak kecewa karena Titus Bonai alias Tibo dkk telah berjuang keras, tapi tak berhasil.
 
Rekan saya, ekskekutif muda yang tinggal di kawasan Serpong, Banten, merespon positif. Belajar dari kekalahan, katanya, itu bagian dari proses pendewasaan, baik sebagai tim sepak bola maupun penontonnya yang juga dinilai oleh publik dunia.
 
Di kegelapan luar GBK, stadion serbaguna, para penonton tak lagi menghujat Malaysia seperti suasana sore hari menjelang pertandingan. 
 
Dalam perjalanan pulang, bukan hanya kesedihan atas kekalahan itu, namun juga kenangan atas stadion kebanggaan anak bangsa. Stadion ini diberi nama Gelora Bung Karno untuk menghormati Soekarno, Presiden pertama Indonesia, yang juga merupakan tokoh yang mencetuskan gagasan pembangunan kompleks olahraga ini.
 
Selain sebagai tempat berolahraga, kawasan Gelora Bung Karno sering dimanfaatkan sebagai ajang temu. Bukan hanya hajat partai politik, pengajian akbar sering digelar di sini. Kiai sejuta umat, Zainuddin MZ (almarhum) bisa menyedot puluhan ribu jemaah layaknya penonton sepakbola.
 
Pada awal tujuan dibangunnya stadion ini, Presiden Soekarno menginginkan kompleks olah raga yang dibangun untuk Asian Games IV 1962. Fungsi lainnya adalah sebagai paru-paru kota dan ruang terbuka tempat warga berkumpul.
 
Sebuah ciri khas stadion ini adalah atap yang disebut oleh Bung Karno sebagai "Temu Gelang", yaitu sebuah atap konstruksi baja besar yang membentuk cincin raksasa dan melindungi para penonton dari panas dan hujan. Tadi malam penonton tribun atas melempar-lempar botol plastik dan kertas sebagai ungkapan kekesalan mereka.
 
Bagaimana kisahnya hingga Senayan yang dijadikan sebagai lokasi pembangunan? Proyek itu mengorbankan kampung dengan lebih 60.000 penduduk Betawi yang harus hengkang dari kampung halamannya.
 
Gelora Bung Karno kembali menjadi saksi kekalahan Indonesia dan kedewasaan penontonnya. Meski belum juara, Garuda Muda adalah tim masa depan yang harus terus dibina untuk kejayaan sepak bola Tanah Air.
 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : News Editor
Sumber : Lahyanto Nadie

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper